Rabu, 18 September 2013






Nasionalisme, secara harafiah berarti sebuah wujud rasa cinta akan tanah air, cinta pada bangsa sendiri, bangga dengan bangsa sendiri, bangga dengan identitasnya sebagai sebuah bangsa. Nasionalisme bukan hanya muncul saat bangsa kita terjajah atau terlecehkan. Nasionalisme itu harus senantiasa ada dalam keseharian kita, meresap dalam diri kita, dalam kehidupan kita, hingga kita sendiri tidak menyadari bahwa apa yang kita rasakan dan apa yang kita lakukan itu merupakan sebuah pewujudan dari rasa nasionalisme itu.

Nasionalisme  akan menimbulkan sebuah rasa kepercayaan diri, kebanggaan (pride), optimisme, dan daya juang yang tinggi untuk memajukan bangsa. Beberapa hal itu merupakan prasyarat mutlak bagi sebuah bangsa yang ingin berdikari. Tak mungkin negara kita akan maju dan sejahtera jika kita tidak memiliki rasa percaya diri dengan potensi yang kita punya. Tak mungkin kita bisa berdikari tanpa adanya kebanggaan, optimisme, dan daya juang yang tinggi terhadap apa yang kita miliki sebagai identitas bangsa kita itu.

Tentang kebanggaan terhadap bangsa itu, jangan mengaku bahwa Anda telah berbangga dengan bangsa Indonesia jika Anda belum pernah mengenakan batik, tidak menyukai batik, atau belum mempunyai batik. Pernyataan saya ini tentu bukan tanpa argumentasi. Bagaimana tidak, kini, dalam kancah dunia saja, batik telah diakui sebagai salah satu warisan budaya dunia (world heritage) yang berasal dari negeri kita, bersama dengan wayang, keris, angklung, tari saman, dan noken. 2 Oktober 2009 menjadi buktinya. UNESCO telah mengakui itu. Kini, setiap tanggal 2 Oktober itu, bangsa Indonesia bahkan merayakannya sebagai hari batik nasional.

Jika dunia saja sudah mengakui bahwa batik itu merupakan salah satu warisan budaya dunia, lalu kenapa kita sebagai bangsa Indonesia sendiri tidak? Kalau dunia saja mau melestarikan batik sebagai warisan budaya dunia itu, kenapa kita justru tidak melestarikannya?

Melestarikan Batik untuk Nasionalisme Kita

Akhir-akhir ini pemerintah telah memberikan porsi perhatian yang lebih untuk melestarikan batik. Meskipun kesannya cukup terlambat, upaya ini patut untuk kita apresiasi. Upaya pemerintah dalam melestarikan batik itu ditandai dengan mewajibkan semua aparat negara untuk mengenakan batik pada hari-hari kerja tertentu. Paling tidak sebanyak 2 kali dalam seminggu, batik ini wajib dipakai oleh para pegawai negeri, para penyelenggara negara, hingga pegawai-pegawai BUMN. Langkah sederhana ini, tentu saja mesti kita dukung.

Sementara itu, pada sisi yang lain, batik menyimpan potensi yang luar biasa untuk terus dikembangkan. Batik yang selama ini kita kenal dapat dimodifikasi dalam berbagai bentuk motif dan corak yang beraneka ragam. Batik bahkan bisa dengan mudah menyesuaikan mode sesuai dengan selera zaman, entah itu dalam bentuk kemeja, kaos, celana, kimono, jaket, tas, hingga bahkan selimut. Semua itu, tergantung pada kreativitas para pembuatnya.

Dengan begitu variatifnya model dan rupa batik itu, batik pun dapat kita kenakan dalam berbagai event. Di dunia kerja, batik begitu cocok untuk dikenakan para pegawai. Dalam acara resmi, batik begitu sesuai untuk kita pakai. Dalam acara nonformal, batik juga memberikan kesan sopan namun tetap santai. Pada intinya, penggunaan batik itu tidak terbatas pada acara tertentu saja, tetapi hampir semua acara, tinggal kita pandai-pandai saja dalam memilih motif/corak/modelnya, karena batik bisa bertransformasi menjadi bentuk dan mode apapun juga.

Saat ini, produksi batik nasional masih terkonsentrasi di kota-kota yang sejak lama dikenal sebagai sentra produksi batik, semisal Pekalongan, Solo, Yogyakarta, Palembang, dan Makassar. Namun begitu, masyarakat sudah begitu familiar bahwa julukan kota batik telah tersematkan pada kota Pekalongan. Secara kuantitas, Pekalongan memang menghasilkan batik dalam jumlah yang begitu besar. Maka tak heran, jika Anda pernah berkunjung ke kota ini, ada banyak gerai-gerai batik berjejer di kota ini. Produsen batik pun banyak tersebar di daerah ini, dari produsen dengan kapasitas yang kecil, menengah, hingga yang memproduksi secara besar-besaran.

Sebagai konsekuensinya, peran batik bagi perekonomian masyarakat kota Pekalongan dan kota-kota penghasil batik lainnya pun begitu besar. Itulah salah satu alasan mengapa pemerintah menjadi begitu getol untuk terus melestarikan dan mengembangkan batik. Dan, tentu saja, upaya pelestarian ini perlu untuk kita dukung.

Namun begitu, terkadang saya sendiri masih terheran-heran, sekarang ini masih ada saja anak-anak muda yang beranggapan bahwa batik itu sesuatu yang kuno, tidak gaul, tidak modis, serta sebutan-sebutan lain yang seakan menyiratkan bahwa batik itu tidak layak untuk dipakai oleh generasi muda. Sementara itu, mode-mode yang berasal dari negara-negara barat dianggapnya sebagai sesuatu yang gaul dan mesti diikuti trennya. Padahal, batik itu merupakan hasil karya dari tanah airnya sendiri, namun kenapa mereka justru bangga menggunakan produk-produk impor daripada karya anak bangsa sendiri itu? Sungguh terkadang saya tidak habis pikir.

0 komentar:

Posting Komentar