Rabu, 18 September 2013



Menggunakan ju-baju impor tentu saja sesuatu yang boleh-boleh saja dilakukan. Namun, menggunakan baju-baju impor sembari merendahkan baju-baju karya anak bangsa sendiri, ini tentu yang patut kita kritisi. Apa iya semua yang datang dari barat itu cocok untuk kita? Apa iya SEMUA yang berasal dari negara maju itu bagus untuk bangsa kita?

Sejatinya, antara batik dan baju-baju yang menurut sebagian orang merupakan baju yang modern itu bisa kita sesuaikan penggunaannya. Kita bisa mengatur penggunaan keduanya. Dalam dunia kerja sendiri, pada hari-hari tertentu, telah ditentukan untuk mengenakan pakaian kerja pada umumnya, sementara pada hari-hari yang lain juga telah ditentukan untuk mengenakan batik. Pemakaian antar keduanya bisa diatur. Malahan, bagi saya sendiri, saya lebih nyaman mengenakan batik pada saat bekerja. Saya tak perlu memasukkan batik itu ke dalam celana saya, tak perlu juga mengikat celana panjang saya dengan ikat pinggang. Saya tak perlu mengenakan dasi, namun tetap memberikan kesan sopan dan rapi. 

Pada acara resepsi pernikahan, batik begitu pas untuk dikenakan. Santai namun tetap rapi dan sopan. Tak hanya pada siang hari, batik pun bisa kita gunakan pada malam hari di saat kita hendak tidur. Karena kini, batik pun telah banyak menghiasi baju tidur, dari bentuknya yang sederhana hingga yang paling kompleks sekalipun. Batik memang cocok untuk segala kondisi. Formal maupun nonformal. Resmi maupun tak resmi.

Berbagai Macam Tantangan Pelestarian Batik

Seni membatik sampai saat ini merupakan hasil dari  tradisi warisan dalam keluarga, yang diturunkan dari generasi ke generasi. Seni membatik itu terjalin secara turun-temurun dan menjadi identitas bangsa Indonesia. Namun, ada ancaman terhadap kelestarian batik itu yang tak hanya datang dari mode-mode barat yang menjejali generasi muda kita. Keberadaan batik kini juga telah terjejali dengan hadirnya batik “asing”, yakni tekstil bercorak batik namun pada dasarnya bukan merupakan batik. Batik seperti itu biasanya  berasal dari China dengan harga yang lebih murah. Mengenai hal ini, dibutuhkan langkah yang nyata dari pemerintah bekerja sama dengan masyarakat untuk mendidik konsumen. Karena sekali lagi, tekstil bercorak batik, tidak sama dengan batik, dan bukan merupakan batik.

Di satu sisi, pengrajin batik dewasa ini didominasi oleh orang-orang yang sudah berusia cukup lanjut. Akibatnya, jika kelak tidak ada regenerasi, angka produksi batik nasional bisa saja akan menurun. Untuk itu, perlu dilakukan serangkaian revitalisasi kembali mengenai industri batik itu, khususnya pada industri yang berbasis rumah tangga. Generasi muda mesti terus diajak untuk melestarikan batik. Jika permintaan akan batik selalu tinggi, produsen pun tak akan ragu untuk terus berproduksi. Generasi muda pembatik tak akan pesimis dengan usaha batiknya. Jika perlu, pemerintah dapat melakuan intervensi melalui pendekatan pendidikan dan budaya. Pemerintah daerah dapat membuat serangkaian program pendidikan mengenai perbatikan kepada generasi muda dalam sekolah-sekolah. Festival batik dilakukan secara rutin, berbagai lomba mengenakan batik juga dapat dicanangkan. Festival putra dan putri batik yang biasa diselenggarakan setiap tahun, mesti terus dipertahankan. Kegiatan ini terbukti cukup efektif untuk mengajak generasi muda agar mencintai batik.

Ancaman lain juga datang pengusaha asing yang tak ragu menggelontorkan banyak uang demi mencontoh motif batik Indonesia. Batik Indonesia pun dijiplak oleh orang-orang asing berdana besar itu. Sementara di lain pihak, pengrajin lokal tanah air membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk mengembangkan usaha dengan modal mandiri. Disini lah seyogyanya pemerintah mengambil peranan penting untuk membantu pengrajin lokal itu.

Melalui Kementerian Koperasi dan UKM serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai lokomotif utama, pemerintah dapat memberikan bantuan permodalan dalam bentuk kredit berbunga rendah atau bahkan tanpa bunga, hingga mencanangkan pagelaran atau heritage event yang mengangkat batik sebagai komoditas. Event-event itu dapat berupa pameran batik dalam bentuk pekan batik nasional, bulan batik nasional, atau bahkan tahun batik nasional. Kedua kementerian ini mesti terus didukung oleh tiga kementerian lain, yakni Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Pendidikan Nasional. Kementerian Perindustrian berperan dalam meregulasi, melindungi, dan memajukan industri perbatikan dari aspek hulu (produksi), Kementerian Perdagangan berperan dalam tata niaga batik nasional, sementara Kementerian Pendidikan Nasional memegang peranan penting dalam upaya memperkenalkan dan mendidik generasi muda akan perbatikan nasional sebagai bagian dari budaya bangsa yang mesti terus dilestarikan. Singkatnya, mesti lah ada sinergi yang terjaga antar kelima kementerian itu.

Dengan dukungan presiden kita yang terkenal cukup concern dalam upaya melestarikan batik itu, penyinergian kebijakan antarkementerian itu semestinya bukan merupakan sesuatu yang sulit. Kita tahu bahwa dalam beberapa pernyataannya, presiden nampak begitu bersemangat dengan upaya pelestarian dan pemasyarakatan batik. Hal demikian sungguh patut untuk kita teladani.

Pada dasarnya, Kementerian Perdagangan pun telah membuat cetak biru (blue print) pengembangan batik nasional. Blue print itu bahkan telah diserahkan kepada presiden. Kita semua tentu berharap agar blue print itu tidak hanya sekadar dokumen semata, tetapi menjadi sebuah pedoman yang nyata dan tercermin dalam semakin majunya industri perbatikan nasional sebagai bagian dari pilar ekonomi berbasis budaya bangsa.

Dalam dunia internasional, guna memperkenalkan batik ke dunia internasional, pemerintah mesti terus-menerus untuk menggunakan batik sebagai sarana diplomasi. Ketika terjadi berbagai pertemuan internasional, pertemuan dengan negara-negara lain, berkunjung ke negara lain, atau menerima tamu dari negara lain, pemerintah sedapat mungkin agar mengenakan batik. Jika perlu, pemerintah juga dapat memberikan oleh-oleh berupa baju-baju batik kepada tamu-tamu negara. Selain sebagai media untuk menjalin keakraban, pemberian suvenir ini juga sebagai ajang untuk mempromosikan batik ke dunia internasional. Harapannya, dunia internasional tak hanya akan mengakui batik sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia, tetapi juga menjadi tertarik untuk mengenakan batik dalam kehidupan sehari-hari mereka.

0 komentar:

Posting Komentar