Rabu, 18 September 2013






Menurut sejarahnya Lasem masih menyimpan jejak perkampungan Tionghoa lama. Warga setempat tetap mempertahankan gaya arsitektur Cina yang dibangun sejak 1786 silam. Dibalik tembok hunian tua itu, tersimpan warisan batik yang sangat ternama : batik abang getih pithik (merah darah ayam).

Kedatangan orang Cina pertama di Lasem tercatat pada abad XV (1411-1416). Banyak yang menduga bahwa cikal bakal keberadaan batik Lasem dibawa dari Tiongkok dengan misi perdagangan.

Buktinya, motif seperti ci’lin atau naga binatang dalam mitologi orang Tionghoa kerap menghiasi sehelai kain batik tulis Lasem. Namun, sesungguhnya, batik Lasem sudah ada bahkan sebelum para saudagar itu tiba.

Alkisah, pada abad 13, sepasang suami istri bangsa Campa (bangsa Indochina –sekitar Vietnam, Laos, Kamboja—dibawah kekaisaran Dinasti Ming) tiba. Menurut Agus As, ketua Forum Komunitas Serjarah, pasangan Bi Nang Un dan Na Li Ni yang hijrah ke Lasem membawa putrinya Bi Nang Ti.

Gadis ini kemudian diperistri Adipati Lasem bernama Pangeran Badranala. Istri adipati inilah yang belakangan mengembangkan batik gaya laseman.

Lama-lama, orang Campa berbaur dengan para saudagar dari negeri Tiongkok. Lalu mereka pun berbaur dengan penduduk setempat. Pembauran antara etnis Cina dan Jawa terasa kental hingga. Banyak pedagang Cina yang kemudian beralih menjadi pedagang batik.

Getih pithik

Batik laseman memang unik. Ragam hias yang ditorehkan selalu bernuansa budaya Tionghoa. Tetapi tanpa menghilangkan “pakem” batik keratonan dengan motif geometris seperti kawung, parang dan liris.

Ciri khas warna batik pesisir adalah warna cerah merah, biru, hijau dan kuning. Tetapi soal warna, batik Lasem juaranya. Pengusaha batik peranakan tertua di Lasem, Sigit Widjaksono, mengakui dari segi warna batik  laseman tidak ada duanya.

Batik Lasem di masa lampau termasyhur karena warna merah khas yang dijuluki abang getih pithik. Meskipun sama-sama menggunakan ramuan akar mengkudu, tetapi warna merahnya tidak bisa bisa dihasilkan daerah pesisir lain seperti Pekalongan dan Kudus.

Sigit bertutur, pada tahun 2002, ada seorang insinyur ahli warna asal Jepang yang datang ke rumahnya. “Menurut dia, warna merah ini dihasilkan karena sumber air yang ada di Lasem ini memiliki kandungan mineral tertentu dan kalau disenyawakan dengan batik akan menghasilkan warna yang cerah,” ungkap pengusaha bernama asli Njo Tjoen Hian ini.

Dari situ muncul “batik tiga negara”. Batik ini memiliki warna biru, soga, dan merah. Uniknya pewarnaan batik ini berasal dari daerah yang berbeda sesuai ciri masing-masing. Warna biru dihasilkan dari Pekalongan, warna soga dari Solo sedangkan warna merahnya dihasilkan dari daerah Lasem sendiri.

Warna-warna batik Lasem didominasi oleh warna merah, biru, soga dan hijau. Ini merupakan pengaruh dari berbagai kebudayaan. Seperti halnya warna merah pengaruh dari budaya Tionghoa, warna biru pengaruh kebudayaan Eropa, warna soga dari budaya Jawa (Solo), dan hijau pengaruh komunitas Muslim.

Jejak Daendles

Batik Lasem menjadi salah satu karya budaya leluhur yang memberikan pengaruh kuat bagi perekonomian dan citra kota Lasem. Tak heran jika Lasem ini masuk dalam lima besar kota pengrajin batik di Indonesia. Warna dan coraknya berbeda dengan batik Jawa pada umumnya, baik motif klasik atau motif perkembangannya.

Industri batik yang tumbuh di kota tua ini menyimpan kenangan dibalik setiap motifnya. Menurut Sigit, motif-motif batik juga ada yang dilatarbelakangi dari kebudayaan setempat seperti tanaman latohan semacam tanaman laut yang tumbuh di tepi pantai. Motif tersebut menggambarkan kehidupan masyarakat pesisir.

Batik Lasem juga merekam sejarah kelam penjajahan. “Motif yang ada sekarang juga respon terhadap sejarah yang pernah ada di masyarakat Lasem. Salah satunya adalah kricak atau watu pecah,” ungkap Sigit Widjaksono.

Motif kricak (batu pecah) ini terinspirasi dari masa penjajahan Belanda dibawah kekuasaan Jenderal Herman Willem Daendles. Dia memerintah pada tahun 1808 hingga 1811 dan terkenal kejam. Salah satu kebijakan Daendels yang masih membekas adalah pembuatan jalan raya dari Anyer-Panarukan atau dikenal jalan pantura.

Saat membangun jalan sepanjang 1.100 kilometer yang membentang dari barat hingga timur Pulau Jawa itu, Daendels menerapkan sistem kerja rodi atau kerja paksa. Dia meminta setiap kabupaten menyumbangkan buruh kasar untuk pembuatan jalan.

Sigit bercerita saat itu pekerja tidak mendapatkan upah. Masa pembuatan jalan dibarengi dengan musim penghujan sehingga berjangkit penyakit malaria dan influenza. Sehingga banyak pekerja kasar yang mati. “Karena memendam rasa sakit hati, para pekerja mengekspresikan kemarahannya dengan memecah batu besar menjadi berkeping-keping,” tandasnya.

Motif kricak ini menjadi ornamen utama batik Lasem yang dipadu dengan corak flora, fauna ataupun benda-benda lainnya. Tapi tak jarang, ornamen batu pecah menjadi motif pelengkap atau isen-isen maupun motif dibagian tumpal (tepi ujung) batik.

Tak penting dimana ragam kricak dilukiskan. Nyatanya, kricak mampu memperindah motif laseman. Ditambah lagi dengan nuansa warna merah darah ayam yang khas. Wajar bila batik Lasem menjadi batik yang digemari para pecinta batik nusantara.

0 komentar:

Posting Komentar