Oleh: Ir. Fadmin Prihatin Malau.
Setiap di daerah di Indonesia mempunyai Kearifan Lokal tentang lingkungan hidup. Sungguh sangat luar biasa karena sangat baik bagi kelangsungan atau kelestarian lingkungan hidup dan menjamin masa depan manusia di bumi ini. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, kearifan lokal tentang lingkungan hidup itu seperti terlupakan.
Bilamana kearifan lokal tentang lingkungan hidup dan bila itu dilaksanakan oleh semua pihak, mulai dari pemerintah daerah, masyarakat, instansi swasta/pemerintah, lembaga kemasyarakatan, tokoh masyarakat, tokoh adat dan didukung sepenuhnya oleh pemerintah pusat dengan membuat regulasi (Undang Undang) yang mengakomodasi kearifan lokal tentang lingkungan hidup itu maka bumi Indonesia akan lestari sampai ke anak cucu terus menerus.
Kondisi ini yang belum berjalan sepenuhnya sehingga kondisi lingkungan hidup Indonesia mengalami problematika yang sangat mengkhawatirkan. Kearifan lokal tentang lingkungan hidup belum semua pihak mendukung dan melaksanakannya pada hampir semua daerah di Indonesia.
Masih ada yang peduli dari banyak kurang (tidak) peduli seperti Komunitas Bumi di Jalan Sisingamangaraja 132 Medan yang peduli dengan melihat kearifan lokal tentang lingkungan hidup di kawasan Batak. Begitu juga dengan beberapa komunitas lain yang peduli dengan lingkungan hidup masih terus berjuang dengan konsep kearifan lokal dalam menata lingkungan hidup.
Idris Pasaribu seorang budayawan, jurnalis senior di Medan menulis pada rubrik “Lirik” Ruang Budaya Analisa (Rebana) Minggu, 24 April 2011 dengan judul, “Bumi dan Budaya” berpendapat bumi sama dengan tanah yang dalam bahasa Batak disebut tano memiliki satu kesatuan yang utuh. Idris Pasaribu mengkritisi ketika banjir orang menyalahkan alam tidak bersahabat dengan manusia. Namun, orang tidak sadar bahwa yang merusak hutan itu adalah manusia. Ketika hutan telah rusak, gundul maka banjir akan datang. Agar banjir tidak datang maka solusinya? Ya, jangan dirusak hutan dan jika sudah rusak segera tanami kembali hutan itu.
Kearifan Bumi Bonapasogit
Tanah dalam bahasa Batak adalah tano dan tano memiliki makna bumi. Semua manusia mengakui bumi adalah satu satunya tempat tinggal, tempat hidup dan berkembang biak sebab sampai hari ini belum ada satu orang (manusia) yang bisa hidup di planet lain selain planet Bumi. Manusia yang ada sekarang ini semuanya tinggal di planet bumi, artinya semua manusia hidup dalam satu rumah yakni bumi.
Ilmu ini ada dalam kearifan lokal tentang lingkungan hidup dalam masyarakat Batak. Bumi Bonapasogit dalam bahasa Batak diartikan bumi kampung halaman atau tano Batak. Kearifan lokal dari tano Batak pada dasarnya harus menjamin kelangsungan hidup suku Batak itu dari zaman ke zaman yakni dari zaman dahulu sampai kini dan pada zaman mendatang.
Kearifan lokal tentang lingkungan hidup ini telah diajarkan sejak zaman dahulu di suku Batak dan telah diwariskan kepada generasi selanjutnya terus menerus secara lisan, tidak ada yang tertulis akan tetapi bila telah menjadi adat dan budaya harus dipatuhi dan dilaksanakan tanpa ada alasan apapun.
Nenek moyang suku bangsa Batak telah mengatur tatacara penebangan pohon, tidak boleh menebang pohon sembarangan, ada aturan yang mengaturnya. Aturan itu menjadikan tata laksana kehidupan suku Batak berkembang dan lestari, terbebas dari bencana. Hal yang paling sederhana, suku bangsa Batak mengatur tatalaksana yang namanya Lumban, Sosor dan Huta meskipun secara umum boleh disebut dengan kampung atau desa. Namun, Lumban, Sosor dan Huta tidak sama persis. Ada perbedaan dalam tatalaksana.
Perbedaan itu sangat mendukung dari kelestarian lingkungan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa serta melestarikan nilai-nilai budaya Batak itu sendiri. Melestarikan lingkungan berada pada posisi depan dan dilengkapi dengan tatalaksana budaya dalam kehidupan bersama.
Contoh sederhana dari Lumban adalah sekumpulan rumah Batak yang berhadap-hadapan dengan dikelilingi dengan tanah yang ditinggikan (sebentuk tembok) dari gundukan tanah yang ditanami dengan tumbuhan bambu. Dikatakan Lumban hidup sekelompok keluarga besar yang masih satu keturunan darah atau satu marga. Misalnya Lumban Malau maka hiduplah di lokasi itu sekumpulan keluarga besar bermarga Malau. Begitu juga dengan Lumban Pasaribu, Lumban Siturus, Lumban Gurning dan berbagai marga lainnya dari suku Batak.
Kemudian Sosor yang juga diartikan desa akan tetapi Sosor ini sudah hidup kelompok antara marga, ada marga Malau, ada marga Sinaga, ada marga Sitorus dan lainnya. Sosor berasal dari kata manyosor yang dapat diartikan berpindah tidak jauh dari lokasi sebelumnya. Biasanya bila telah terjadi perkawinan misalnya antara marga Malau dengan boru Sinaga maka keluarga baru ini membuka pemukiman baru dengan manyosor dan tersebutlah Sosor Ladang, Sosor Gadong dan lainnya.
Lantas perpaduan dari beberapa Sosor ini, hadirlah yang namanya Huta atau kampung semisal Hutabalian, Huta Gontingmahe dan lainnya. Hal ini hanyalah penamaan saja akan tetapi makna yang mendasar pembangunan pemukiman ini tetap berdasarkan tatalaksana lingkungan dan budaya Batak.
Semua tata kehidupan masyarakat Batak sangat erat dengan alam (bumi) tidak ada yang tidak berhubungan dengan bumi. Membangun kampung (Lumban, Sosor, Huta) tidak bisa lepas dari alam bahkan untuk membangun sebuah rumah Batak semua unsur alam ada di dalamnya. Rumah Batak tidak mempergunakan paku. Artinya tidak perlu membongkar perut bumi untuk mengambil biji besi. Rumah Batak tidak mempergunakan cat dari bahan kimia tetapi dari alam seperti tanah, daun-daunan yang sari dari daunan itu dipergunakan untuk cat rumah. Tidak perlu seng yang harus digali dari perut bumi tetapi rumah Batak mempergunakan ijuk untuk atapnya.
Berimbas Buat Semua
Kearifan lokal tentang lingkungan hidup ini sesungguhnya sangat baik dalam melestarikan lingkungan hidup. Namun, kini mulai dilupakan atau terlupakan tentang kearifan lokal yang hidup secara turun temurun sejak zaman nenek moyang suku bangsa Batak.
Penulis yang pernah bermukim selama lima belas tahun di tano Batak melihat kearifan lokal tentang lingkungan hidup mulai dilupakan, rumah-rumah Batak yang berusia rata-rata ratusan tahun itu hampir tidak ada yang berkeinginan untuk merenovasinya. Masyarakat suku bangsa Batak lebih senang membangun rumah dengan bangunan rumah moderen. Alasannya kurang nyaman tinggal di rumah Batak.
Begitu juga dengan pembangunan kampung, tatalaksana pembangunan kampung dengan konsep kearifan lokal yang sangat memperhatikan lingkungan hidup sudah mulai bergeser. Konsep-konsep kearifan lokal mulai hilang dan berganti dengan tatalaksana pembangunan perkampungan modern yang tidak selaras dengan lingkungan hidup. Kearifan lokal tentang lingkungan hidup di kawasan tano Batak secara perlahan tetapi pasti telah bergeser sehingga bumi Bonapasogit yang dahulu dingin, sejuk kini sudah berganti dengan gerah.
Pergeseran dari kearifan lokal tentang lingkungan hidup itu telah terjadi meskipun belum punah secara total, maka sebelum punah seharusnya semua pihak peduli. Hal ini penting karena kearifan lokal tentang lingkungan hidup yang ada pada semua daerah di Indonesia akan mendukung lingkungan hidup Indonesia secara keseluruhan.
Contoh sederhana karena kawasan suku Batak atau daerah Tapanuli kini tidak dingin lagi, hanya sejuk saja maka daerah kota Medan menjadi sangat gerah. Lingkungan hidup satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan begitu saja, maka apa yang dikatakan budayawan Idris Pasaribu bahwa ketika banjir datang jangan cepat-cepat marah kepada alam akan tetapi mengapa banjir datang sebab hutan telah habis ditebang. Siapa yang menebang hutan? Jawabnya manusia maka tidak tepat jika banjir datang manusia menyalahkan alam.
Lingkungan hidup dalam kearifan lokal yang ada pada setiap daerah di Inonesia merupakan satu asset atau harta terpendam bagi bangsa Indonesia yang harus digali dan terus dilaksanakan sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam hidup dan kehidupan semua manusia Indonesia.
(Penulis adalah alumni Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan, pemerhati masalah lingkungan dan budaya)
Selasa, 13 Agustus 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar