Minggu, 01 September 2013



TEMPO.CO, Surakarta -  Menyadari di Surakarta  memiliki banyak komunitas kreatif, maka pemerintah daerah berinisiatif  kembangkan pariwisata berbasis komunitas kreatif. Anggota Badan Promosi Pariwisata Indonesia Surakarta Bambang Irawan mengatakan, sebenarnya konsep wisata berbasis komunitas kreatif sudah muncul sejak 1950 an.

Jenis wisata kreatif membutuhkan seorang pemimpin yang berpengaruh untuk menyusun konsep dan diterapkan di komunitas yang kecil.

Surakarta punya potensi mengembangkan wisata berbasis komunitas kreatif, karena sebenarnya cukup banyak orang kreatif di Surakarta. Kata kuncinya adalah otentik dan unik.



Salah seorang pegiat wisata komunitas kreatif di Surakarta, Heru Prasetyo, menilai Solo punya dua ikon yang bisa dieksplorasi untuk wisata kreatif, yaitu pasar tradisional dan kampung.

"Kita tidak mesti membuat, tinggal membangun kreativitas di kampung dan pasar tradisional dengan melibatkan masyarakat," ucapnya.

Dia mencontohkan selama beberapa bulan terakhir rutin mengajak sekelompok wisatawan, tidak lebih dari 30 orang, untuk menyusuri kampung tradisional sekaligus mengulik sejarah dan keunikannya.

Dia mengatakan, kampung tradisional tidak harus identik dengan Kauman dan Laweyan yang memiliki industri batik. Sebab, ada Kemlayan dan Baluwarti yang erat dengan sejarah Keraton Kasunanan di masa lalu atau Kampung Balong yang dihuni etnis Tionghoa dan pribumi secara berdampingan.

"Ada 500 kampung dan 50 pasar tradisional yang bisa digarap," katanya.

Dia meminta pariwisata tidak tergantung pada atraksi rutinitas, seperti Solo Batik Carnival dan Solo Batik Fashion. Sebab, terbukti semakin lama makin miskin kreativitas.

"Solo Batik Carnival hanya sekadar berjalan. Sisi kreativitasnya kurang dikembangkan. Sedangkan Solo Batik Fashion malah acaranya diundur. Ini bukti kurang persiapan," ujarnya.

Kepala Bidang Pemasaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Surakarta, Budi Sartono, mengakui ada masalah di kreativitas penyelenggaraan atraksi wisata semacam Solo Batik Carnival. Setelah enam kali terselenggara, dia menilai ada kejenuhan. "Penonton juga jenuh," katanya.

Dia mengamini memang perlu inovasi dan kreativitas agar sebuah atraksi wisata tetap diminati. Menurut dia, kreativitas tidak harus melahirkan hal baru, tapi bisa mengembangkan yang sudah ada.

0 komentar:

Posting Komentar